Seorang anak perempuan, bernama Clara, meminta kepada seorang Ibu untuk membawakan sebuah cerita pengantar tidur. Sedaritadi mataanya tidak mau terpejam, pikiran dan matanya seperti membutuhkan sesuatu, sesuatu yang membuatnya jauh terlelap ke alam mimpi ...
“Tolong ceritakan kepadaku cerita pengantar tidur”. Pinta Clara.
“Cerita yang bagaimana?”
“Apa saja, yang bisa membuatku tertidur. Emm, tentang laki-laki dan perempuan mungkin”.
“Hemm, baiklah”.
Lalu sang Ibu pun bercerita tentang seorang perempuan kepada laki-laki :
Seorang perempuan itu berusia 25 tahun, seorang karyawan perusahaan swasta, sangat cantik dan menjadi idola di kantornya. Mempunyai seorang pacar pemimpin sebuah perusahaan, mereka telah merajut cinta lama, sejak perempuan dan laki-laki itu masih sama-sama duduk di bangku kuliah hingga akhirnya sama-sama bekerja sebagai pegawai kantoran di sebiuah kota besar.
Selama ini perempuan dan laki-laki itu menjalani hubungan mereka baik-baik saja, aman-aman saja, hampir tidak penah ada yang melihat mereka bertengkar hebat. Selama ini perempuan mengalah saja dengan si laki-laki, menurut saja dengan perintah si laki-laki, tidak pernah ada kata tidak dalam catatan permintaan si laki-laki. Monoton! Tetapi memang begitulah kenyatannya, si perempuan sendiko dawuh saja pokokknya, cari amannya. Meskipun batinnya meronta. Kenapa bisa demikian? Entahlah .. seperti perempuan kebanyakan mungkin. Dia belum begitu berani beridealisme, atau bahkan hanya sekedar berpendapat, di depan laki-laki.
Laki-laki itu juga sama seperti kebanyakan laki-laki yang lain, mengatur, mengekang, melarang, memarahi, dan masih banyak algi me- yang lainnya, tanyakan saja .. jawabannya pasti lebih banyak iya, dan berarti mereka jujur.
Perempuan ternyata lama kelamaan merasa juga. Akhirnya. Merasa selama ini ada yang menjadi supir dalam otaknya. Merasa ada yang menjadi diktator hebat di dalam batinnya, yang siap menjejalinya dengan hujaman kata-kata penurh larangan dan aturan di setiap perbuatannya, apapun itu. Kalau ditanya alasannya, selalu jawabannya “Demi kamu juga kan? Sudah nurut saja, kamu besok akan jadi istri saya, belajarlah dari sekaranng”.
Hemmhh .. apa iya? Jadi belajar menjadi seorang istri itu belajar menjadi budak laki-laki? Bahhhh !!! Apa-apaan ini????
Selama ini, perempuan itu hanya berani bertanya pada dirinya sendiri, membuang penat dengan beberapa batang rokok, duduk berjam-jam dengan beberapa cangkir kopi, sendirian di sebuah sudut kota, tempat favoritnya. Kadang-kadang ditemani beberapa buku juga. Setelah itu dia akan merasa sedikit lega dan bisa pulang dengan perasaan cukup bahagia. Merasa bahagia karena baru saja merasakan kebebasan. Tetapi kemudian sesampainya di rumah, dia merasa goblok, tetapi kemudian dia mandi dan tertidur, keesokannya dia sudah lupa, bertemu dengan kekasihnya, tertawa di dalam tekanan batinnya, lupa .. yah demikian, berjalan setiap hari, bertahun-tahun. Hebat atau Goblok?????
Hingga pada suatu sore,
Laki-laki itu menemui kekasihnya yang sedang menghisap rokok. Saat itu juga perempuan itu kemudian merasa sangat ingin mati, jantungnya seperti ada yang meremas, kakinya lemas, air matanya sudah di ujung pelupuk mata, mulutnya terbuka bengong. Entahlah, berkecamuk semua menjadi satu. Demikian juga dengan si laki-laki, terlalu meledak-ledak pikirannya karena kaget, hingga akhirnya memutuskan untuk diam tanpa kata.
“Jadi kamu ngerokok ya?” tanya laki-laki.
“Iya. Maaf.”
Kemudian laki-laki itu duduk, mengambil rokok yang masih terselip di jari-jari perempuan itu dan mematikannya. Diam, menatap tajam mata perempuan itu, tetapi kali ini tidak penuh amarah. Justru yang perempuan itu rasakan adalah kelembutan, kedewasaan, pengertian.
“Sekarang bicaralah padaku”. Laki-laki itu berbicara dengan nada suara rendah dan lembut.
“Ini adalah waktu yang saya tunggu, selama lima tahun ini kita berpacaran”.
Kemudian mereka terdiam, sama-sama masih tidak percaya, kemudian perempuan itu melanjutkan,
“Jujur saja, kalau saya harus memilih menjadi banci atau bajingan, saya akan jauh lebih memilih menjadi seorang bajingan, saya tidak peduli apa kata orang, itu bukan berarti saya apatis, itu lebih kepada apa yang disebut sebagai pilihan hidup, satu lagi, saya sebenarnya adalah seorang yang idealis, maaf kalau kita mempunyai latar belakang yang berbeda, tetapi inilah yang kemudian saya namai kebebasan yang paling sempurna, yang tidak bisa dibeli dengan apapun, saya dan terutama pikiran saya akhirnya bisa sangat liar, sangat bebas dan merasa paling hebat, tetapi itulah yang kemudian saya namakan gagasan dan muara inspirasi, dan semua tadi masih mengenai pilihan hidup, jika kamu bisa mengerti, saya akan jauh lebih bisa mengerti, bahkan sangat mengerti”.
“Tetapi saya masih belum bisa terima.”
“Saya sudah pusing, terlalu stress malahan, sudah yah sudah, sudaaahh ..” Perempuan itu hampir menangis malah.
“Lalu bagaimana kalau saya masih belum terima? Saya masih belum percaya.”
“Mungkin inilah yang dinamakan dengan belajar. Saya tidak menuntut hal-hal muluk yang seperti perempuan lain idam-idamkan dari sesosok laki-laki seperti kamu. Saya dan kamu sama-sama punya semuanya. Hanya satu yang aku dan kamu tidak punya.”
“Apa?”
“Saya tidak punya kebebasan seperti kamu, dan kamu belum bisa menerima orang lain apa adanya seperti saya.”
Untuk beberapa saat laki-laki dan perempuan itu sama-sama terdiam.
“Lalu apa lagi? Kamu masih belum bisa terima?” tanya perempuan itu.
Lagi-lagi laki-laki itu terdiam. Susah juga, sebenarnya laki-lak itu goblok, bajingan, atau laki-laki baik, atau apalah .. membingungkan!
“Lalu bagaimana kalau seandainya ayah saya adalah seorang mantan narapidana? Atau Ibu saya dulunya seorang pekerja seks komersial? Atau bagaimana jika sebenarnya saya sudah tidak perawan? Maaf, saya tidak bermaksud menggempur tembok cinta di antara kita, sekali lagi jika anda bisa mngerti, saya akan jauh lebih bisa mengerti, justru inilah proses, saya sedang mencoba membangun tembok kejujuran dan ketulusan untuk kita”.
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut laki-laki itu, entah apa yang dipikirkannya. Perempuan itu pun kemudian hanya diam, dan menunggu. Hingga akhirnya laki-laki itu pergi meninggalkan perempuan tadi seorang diri, meninggalkannya begitu saja, perempuan pun tetap duduk bahkan kembali menyulut asap kebebasannya mengiringi kepergian laki-lakinya dari tempat itu ...
“Apakah kemudian perempuan dan laki-laki itu akhirnya bersatu dan bahagia?” Tanya Clara kepada sang Ibu.
Dan sang Ibu pun menjawab,
“Ibu masih belum bisa menjawab Clara, ceritanya belum selesai.”