Rabu, 28 April 2010

berdoa untuk seni

Berdoa Untuk Seni

Keberadaan seni di tengah-tengah masyarakat sudah bagaikan abu dengan api. Keduanya tidak dapat dipisahkan saling melengkapi dan mengisi satu sama lain. Seni dan kebudayaan memang sudah tidak asing lagi dalam perjalanan tumbuh dan hidupnyanya kota Yogyakarta. Masyarakat di kota ini pun senantiasa menyambangi seni dan kebudayaan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Perjalanan perkembangann kesenian di kota ini pun pesat dengan antusiasme para pecintanya yang sangat besar. Dan sekarang pertanyaannya, apakah iya seni dan kebudayaan sudah mendapatkan ruang publik yang cukup luas dan perhatian serta kesejahteraan dari pemerintah di kota ini khususnya?

Permasalahan inilah kiranya yang sempat menjadi kekhawatiran beberapa pemerhati dan pecinta seni di kota ini. Beberapa aspek kehidupan dan sindrom hedonisme yang melanda beberapa kota besar di Indonesia pun tidak luput menyambangi kota Yogyakarta. Hasilnya kesenjangan sosial dimana-mana dan rakyat dari kelas bawahlah korbannya. Fenomena seperti itulah kiranya yang terlihat beberapa tahun terakhir di kota ini. Beberapa contohnya mereka yang bergelut dengan dunia grafiti dan kesenian rakyat Jathilan.

Grafiti merupakan salah satu produk seni yang dianggap cukup mendapat ruang tersendiri di dalam kegiatan ranah seni masyarakat Yogyakarta. Keberadaannya pun sudah tidak asing lagi bagi hampir semua masayarakat, karena memang seni menulis di atas tembok dengan cat sebagai komposisi utamanya ini selain mengandung unsur seni dan keindahan juga banyak mengandung pesan moral dan perdamaian bagi para penikmatnya. Namun di sisi lain mereka yang berjuang di balik seni grafiti ini ternyata jauh dari kesejahteraan dan rasa aman dalam aksi corat-coretnya. Keberadaan aparat keamanan dan sempitnya ruang gerak serta sedikitnya media penyampaian adalah beberapa masalah yang dihadapi oleh para bomber atau grafitor di kota ini. Tidak jarang mereka harus berkejar-kejaran dengan aparat kepolisian karena mereka dianggap mengotori fasilitas umum. Padahal jika kita melihat dari kacamata seni dan sosial, apa yang mereka kerjakan ini justru jauh lebih baik dan ramah dibandingkan aksi gembar-gembor demonstran terhadap beberapa kasus sosial yang menyeruak di masyarakat. Grafiti jauh lebih elegan dan berbobot, pesan yang disampaikan jauh lebih mengenai sasaran karena hasil karya mereka bisa dinikmati oleh masyarakat setiap waktu.

Namun herannya pemerintah pemerhati seni dan budaya di kota ini seolah-olah menutup mata dan telinga atas fenomena tersebut, mereka justru seolah-olah mengiyakan bahwa grafiti dianggap sebagai aksi corat-coret semata tanpa mau sedikit memahami apa makna dibalik aksi corat-coret itu. Padahala seharusnya pemerintah mampu menyediakan media khusus untuk mereka sehingga pemerintah kota juga tidak usah repot-repot menertibkan mereka. Jika demikian secara tidak langsung pemerintah juga dianggap mampu melindungi dan menjaga kegiata seni di kota ini bukan?

Fenomena lain yang sering kita jumpai dan juga cukup memprihatinkan adalah kesenian rakyat Jathilan yang kini keberaaannya hanya dihargai dengan receh rupiah di perempatan. Sungguh memprihatinkan. Di sisi lain seni ini dianggap jauh lebih baik sebagai sarana mengentaskan sebagian masyarakat dari pengangguran dan mampu sebagai hiburan. Tetapi di sisi lain justru ini adalah bentuk keprihatinan atas keberadaan seni di kota ini khususnya. Di perempatan lampu merah, memungut receh rupiah. Hanya sejauh itukah apresiasi masyarakat di kota ini terhadap keberadaan seni? Dimanakah peran pemeritah terhadap keadaan yang demikian? Harga seni ternyata tidak lebih dari beberapa ratus rupiah saja. Sedangkan di beberapa sektor seni yang lain mereka mampu jauh lebih baik. Sebenarnya yang menjadi persoalan ini seni Jathilan atau bukan, tetapi jauh kepada aspek sosial dan respon yang ditimbulkan terhadap keberadaan kesenian Jathilan ini.

Secepatnya pemerintah seharusnya jauh lebih peka dan lebih memperhatikan keberadaan seni dan masyarakat pecinta seni tersebut. Setidaknya mereka mampu menampung atau syukur-syukur memberikan kesejahteraan yang lebih kepada mereka jika memang seni dianggap sebagai sumber penghasilan sebagian masyarakat kita. Mulai sekarang masyarakat seharusnya juga harus sadar dan mulai “berdoa” agar apa yang masyarakat cita-citakan tentang kehidupan seni di kota ini dapat terealisasikan dan mendapat ruang gerak yang lebih leluasa. Berdoa dalam arti kita berusaha secara spiritual dan berdoa dalam arti mencita-citakan sembari berusaha, menyadarkan dan mencari perhatian pemerintah. Bahwa sesungguhnya seni itu keberadaannya memang miris dan jauh dari kepekaan. Dan untuk pekerja seni yang masih harus “berdoa”, sebenarnya kalianlah simbol-simbol teladan masyarakat kita, mampu survive di tengah-tengah fenomena hedonisme yang semakin menjadi-jadi dan akhirnya menemukan jalannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar