Rabu, 21 April 2010

Ladang Subur Tumbuhnya Jamur “Kuil Berhala Konsumsi”

Ladang Subur Tumbuhnya Jamur “Kuil Berhala Konsumsi”
Kalau kita perhatikan bentuk dan gaya hidup masyarakat yang terwujud dalam mode pakaian, gaya rambut, selera makan, alat komunikasi yang digunakan serta kepemilikan terhadap barang elektronik, semakin kita sadari bahwa sekarang kita betul-betul hidup dalam era globalisasi. Coba kita perhatikan kawasan kota-kota besar Indonesia dipenuhi oleh menjamurnya pusat-pusat pebelanjaan dan hiburan semacam plaza, mall, supermarket, cafe, pub, diskotik, karaoke, panti sauna, dan spa. Lewat sarana inilah yang menyebabkan meningkatnya secara drastis pola dan budaya konsumsi. Semakin pesatnya pertumbuhan suatu kota, semakin besar pula tingkat konsumeritas masyarakatnya. Fenomena seperti itulah kiranya yang terjadi hampir di seluruh kota-kota besar di Indonesia, termasuk salah satunya Yogyakarta. Tumbuh besarnya kota ini apabila kita amati ternyata sangat identik dengan budaya konsumsi penduduknya, baik penduduk asli kota ini ataupun penduduk pendatang yang selalu bisa dipastikan selalu bertambah setiap tahunnya. Di tengah keadaan ekonomi kita yang banyak menghadapi persoalan seperti meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran, di sisi lain justru dengan mudah kita menjumpai kenyataan yang bertolak belakang bila melihat gaya hidup sebagian masyarakat dan fenomena paradoks dari segi konsumerisme. Dikatakan paradoks karena memang tidak ada penjelasan standar mengenai budaya konsumen secara umum.
“Kuil berhala konsumsi” hanyalah sebuah metafora bagi beberapa pusat perbelanjaan di Yogyakarta ataupun beberapa outlet penyedia produk kebutuhan sehari-hari bahkan fashion. Sebut saja diantaranya Ambarukmo Plaza sebagai salah satu induk pusat perbelanjaan termegah di kota ini, disusul Indomart, Circle K, bahkan Giant dan hadirnya sebuah kawasan khusus di daerah Demangan bagi berdirinya outlet fashion. “Kuil berhala konsumsi” sepertinya merupakan istilh yang tepat bagi keberadaan Ambarukmo Plaza dan kuil-kuil berhala kecil lain seperti yang telah disebutkan di atas. Hal ini dikarenakan tempat-tempat tersebut merupakan hasil produk budaya konsumtif masyarakat dan herannya justru lebih banyak menyedot perhatian dengan segala kemegahan dan kemewahanyan. Pusat-pusat perbelanjaan tersebut biasanya menempati lokasi dan kawasan-kawasan strategis serta pusat keramaian. Dalam pengembangan usahanya, tidak jarang kita mendengar melalui pemberitaan koran dan TV, pusat-pusat perbelanjaan tersebut menggusur lokasi pasar tradisional, kantor pemerintah ataupun sekolah-sekolah. Ini mengisyaratkan betapa kapital lebih berkuasa dan dominan menentukan bagaimana tata ruang kota dibentuk, bahkan kalau perlu harus menyingkirkan ruang-ruang publik dan sarana-sarana sosial warga kota. Padahal apabila pasar tradisional yang justru hampir punah karena luput dari perhatian massa diam-diam menyimpan pesona dan potensial. Jika pasar tradisional lebih diperhatikan secara tidak langsung kita juga memperhatikan bagaimana kehidupan rakyat kecil kita, pasar tradisional juga berpotensi menjadi salah satu aset pariwisata. Namun keberadaannya semakin hari semakin tergeser karena sekali lagi mungkin masyarakat kita ternyata lebih mementingkan prestige dibandingkan toleransi. Toleransi terhadap rakyat kecil itu lebih tepatnya. Sadar atau tidak sadar pada dasarnya pertumbuhan pembangunan kuil-kuil berhala konsumsi tersebut sudah seperti jamur yang dengan cepat menyebar di seluruh kota di Yogyakarta dan bahkan ada sumber yang menyatakan bahwa tahun ini pertumbuhannya diperkirakan mengalami kenaikan sebesar 15%.
Seperti yang kita saksikan baru-baru ini kita dapat menjumpai hampir setiap beberapa meter sekali kita dengan cepat bisa menemukan outlet-outlet penyedia kebutuhan sehari-hari dengan mudah, bahkan tidak tanggung-tanggung sebagian besar dari mereka banyak yang menawarkan jasa pelayanan selama 24 jam. Sebut saja Circle K misalnya adalah salah satu pelopor outlet dengan jasa pelayanan satu hari penuh sebagai kelebihan utamanya. Apabila kita sadar, sebenarnya harga segala sesuatu yag dijual disana jauh lebih tinggi dibandingkan kita membeli barang dengan janis yang sama sekedar di toko kelontong biasa, namun herannya outlet tersebut hampir tidak pernah sepi dari pengunjung. Keberadaannya yang 24 jam mungkin telah membuat konsumen selalu merasa lebih santai karena mereka bisa berbelanja kapan saja tanpa ada batasan waktu. Sekarang keberadaan Circle K dan outlet-outlet lainnya semakin hari-semakin bertambah banyak dan hal itu berarti semakin tinggi pula minat konsumen untuk berbelanja di outlet-outlet semacam itu.
Menjamurnya kuil-kuil berhala konsumsi pun tidak berhenti dan sebatas itu. Baru-baru ini jika kita perhatikan di sebuah kawasan di daerah Demangan, tepatnya pertigaan sebelum pasar Demangan ke timur kini kanan kirinya dipenuhi dengan sejumlah outlet clothing company. Entah itu sengaja dibuat sedemikian sebagai program tata kota pemerintah kota Yogyakarta atau apa, yang jelas jalan itu kini menjadi surga bagi kaum muda pecinta belanja dan pecinta fashion. Lagi-lagi kita dihadapkan pada budaya konsumsi yang sudah tak segan-segan lagi sasrannya yaitu anak muda. Sejumlah outlet company itupun selalu berlomba-lomba untuk membuat berbagai acara yang digelar tahunan atau acara yang sekedar mengalihkan rutinitas anak-anak muda pada umumnya. Beberapa tahun terakhir ini sampai sekarang, beberapa clothing company tersebut dan bahkan ada yang dari luar kota justru bergabung menjadi satu dan menggelar acara tahunan. Distro Exibition atau Kickfest begitu biasanya mereka menamai acara tersebut, acara utamanya tentu saja, berbelanja. Herannya acara tahunan tersebut selalu dipadati oleh anak-anak muda di kota ini dengan penuh antusias, mereka pun tak segan-segan untuk menyempatkan merogoh uang saku mereka demi acara tahunan ini.
Sebenarnya ada juga sisi baik lain seiring menjamurnya keberadaan kuil-kuil berhala konsumsi di Yogyakarta, salah satunya setidaknya bisa merotasilah angka pengangguran di kota ini. Membuka lapangan pekerjaan baru dan bukti semakin berkembang pesatnya kota ini. Akhirnya kesimpulan pun kembali kepada kesadaran dan dan tingkat konsumeritas setiap masyarakat masing-masing, dan bagaimana pemerintah kota ini dengan lebih seksama memperhatikan bagaimana semakin besar dan pesatnya tumbuh kembang kotanya yang cenderung dibarengi budaya konsumerisme masyarakat yang menuju tingkat berlebihan.

Ini tidak berlebihan atau apalah, anggiiiit . . thanks ! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar