ASU
Siapa menanam pasti akan menuai. Kiranya itulah peribahasa yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Bajan. Sebelumnya alangkah baiknya kalau kita mengenal sedikit tttytymengenal siapa Bajan. Bajan adalah seorang laki-laki paruh baya yang sangat terkenal di kampung bahkan di kampung-kampung sekitar kampungnya. Kekayaannya yang tiada tertandingi, ladang dan sawahnya yang berhektar-hektar dengan hasil pertaniannya yang melimpah ruah, sapi dan kerbaunya yang bertebaran dimana-mana ketika hari mulai pagi, rumahnya yang seperti istana raja dan tentunya profesi utamanya yang sebagai rentenir. Bajan punya pengawal-pengawal yang berpostur tubuh besar dan sangar yang akan siap menghajar siapapun yang berani membangkang Bajan.
Secara fisik, Bajan juga tergolong laki-laki yang cukup tampan. Di usianya yang sudah memasuki kepala empat itu Bajan masih bisa dengan mudah menggaet perawan-perawan desa, apalagi dengan iming-iming harta Bajan yang tiada tertandingi itu. Perawan-perawan desa itu juga terlalu bodoh sebenarnya, mereka dengan mudah diiming-imingi tetapi dengan mudah juga mereka diperawani, dimanfaatkan sehabis-habisnya, bahkan disiksa, kemudian yang terakhir dicampakkan. Yah, begitulah sekelumit cerita mengenai Bajan dan segala kejayaannya serta kekejamannya, hingga pada suatu hari Bajan menuai semua apa yang telah ia tanam. Kekerasan, kekejaman, kecurangan, kelicikan, pokoknya semuanya. Tuhan dengan mudah menghukumnya lewat keanehan yang tiba-tiba terjadi pada tangan Bajan, entah mengapa.
“ Aaaaarrrgghhh !!! ASU !!!”
Teriak Bajan setiap kali dia mencoba menulis namanya di atas kertas. Keringatnya mulai bercucuran sebesar-besar biji jagung, tangannya mulai dingin dan berkeringat, jantungnya berdegub kencang, kepalnya pusing.
“ Sudah hampir seratus kali aku mencoba menulis namaku dengan baik tetapi bunyinya tetap saja ASU. Ada apa ini sebenarnya?”
Menulis namanya berulang-ulang kali dari pagi sampai malam adalah kegiatan rutin Bajan setiap harinya, sekaligus kegiatan yang sangat menyiksa dirinya. Hampir setiap malam dan hampir pula dua bulan ini Bajan tidak pernah bisa tidur karena memikirkan permasalahan yang kali ini tidak bisa ia selesaikan dengan uang.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Kenapa aku jadi tiba-tiba seperti ini? Segala usaha sudah aku lakukan, pergi ke dukun, ke kyai, beli obat cina yang harganya selangit, semuanya! Nihil hasilnya! Aku benar-benar sudah putus asa kalau seperti ini, ingin rasanya aku memotong kedua tanganku.” gerutunya sambil hampir menangis.
Akhirnya, Bajan pun mendapatkan informasi dari beberapa orang bahwa di kota ada seorang dokter yang ahli potong. Dokter itu biasa menangani orang-orang yang ingin memotong salah satu organ tubuhnya. Mendengar informasi tersebut semakin mantaplah Bajan untuk berniat memotong tangan kanannya. Keesokan harinya Bajan pun bergegas berangkat ke kota untuk mencari dimana dokter itu membuka prakteknya. Setelah menempuh perjalanan seperdelapan hari, sampailah Bajan di tempat dokter ahli potong tersebut.
“Bapak Bajan?” Panggil perawat, pertanda Bajan memasuki gilirannya.
Kemudian Bajan segera memasuki ruangan praktek dokter tersebut.
“Selamat siang bapak, ada yang bisa saya bantu? Tapi sebelumnya apakah Anda benar-benar sudah membulatkan tekad untuk melaksanakan niat kedatangan Anda kemari? Saya tidak ingin ada pasien saya yang kemudian menyesal setelah dipotong bagian tubuhnya.” Begitu kata sang dokter kepada Bajan.
“Tidak dokter, kali ini saya benar-benar sudah membulatkan tekad untuk memotong tangan kanan saya. Saya sudah capek dan ingin hidup normal.”
“Bolehkah saya tahu apa permasalahan saudara?”
“Tangan kanan saya ini tidak pernah bisa menulis nama saya dengan benar. Setiap kali saya menulis nama saya bunyinya Asu. Saya tersiksa sekali dengan keadaan saya ini dokter. Saya ingin membuang kutukan ini dengan memotong tangan saya, tolong bantu saya dokter.”
“Emm, kutukan? Baiklah. Sebelumnya sekali lagi saya yakinkan apakah Anda benar-benar sudah ikhlas?”
“Sudah dokter. Cepat potong tangan saya sekarang juga!” pintanya dengan agak sedikit kesal.
“Oooh...tidak semudah itu. Sebelum saya memotong bagian tubuh pasien saya, biasanya saya selalu melakukan analisis permasalahan terlebih dahulu kepada pasien-pasien saya. Barangkali setelah malakukan diskusi yang sangat panjang, si pasien mampu berpikir lebih baik dan membatalkan niat untuk memotong bagian tubuhnya.” kata dokter.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?”
“Baiklah, sekarang coba ingat-ingat apakah Anda dulunya sering melakukan hal-hal yang mungkin...maaf, kurang baik dengan tangan Anda? Sehingga Tuhan memberikan kutukan ini kepada Anda? Atau mungkin tangan kiri Anda merasa iri dengan tangan kanan Anda yang sering Anda pakaikan cincin atau gelang, menghitung uang banyak, membelai gadis-gadis cantik. Sedangkan tangan kiri Anda hanya melulu untuk melakukan hal -hal yang berurusan dengan kakus?”
“Emm, mungkin iya. Di kampung saya berprofesi sebagai rentenir, dulu saya selalu melakukan hal-hal yang kejam kepada orang lain, kepada para wanita di kampung saya. Orang-orang selalu memaki saya dengan sebutan Asu! Sekarang saya benar-benar telah menyesal dokter, saya juga baru sadar aklau apa yang sudah saya perbuat selama ini dengan tangan saya ini biadab sekali.”
“Apakah Anda yakin hanya itu saja?”
“Emm, yah Anda benar dokter, mungkin tangan kiri saya merasa iri. Aaaarrgghh...sudah sudah!!! Saya suah bosan Anda tanya-tanya terus, cepat segera potong tangan saya!!!”
“Oooo...tunggu dulu, tidak segampang itu. Saya belum melihat sendiri bagaimana cara kerja tangan Anda ketika menulis nama Anda sendiri saudara Bajan. Sekarang bolehkah saya melihat kerja tangan Anda?” kata dokter sambil menyodokan selembar kertas dan sebatang pena.
“Jangan membuat saya semakin gila dokter.”
“Coba dulu. Ayo segera lakukan. Baru saya akan mengambil keputusan bagaimana sebaiknya tangan kanan Anda. Jika memang harus dipotong saya akan sesegera mungkin memotongnya. Sambil Anda menulis, saya akan siapkan alat-alat potongnya.”
Bajan benar-benar bekerja mati-matian hanya untuk menulis namanya sendiri. Hampir satu jam keringatnya bercucuran, segala tenaganya dikerahkan, jantungnya berdegub kencang, tangannya bergetar, kepalanya serasa mau pecah.
“Ya Tuhan! Selamat saudara Anda sekarang tidak perlu memotong tangan Anda. Lihatlah Bajan, lihat! Tangan Anda sudah bekerja dengan sangat baik dan menulis nama Anda dengan benar meskipun Anda melakukannya dengan susah payah.”
“TIDAAAAAAAAAAAAKK!!! Tidak dokter!!! Potong tangan saya sekarang juga cepaaaaaaaaaaaaaaatt !!!!” teriak Bajan sampai hampir menangis karena sudah habis kesabarannya.
“Tenang saudara, tenang. Coba sekarang Anda lihat dan ucapkan pelan-pelan nama Anda. Mari saya bantu.”
“Tidaaaaak dokter!!!! Tidaaaaaaaaakk!!!”
“Ayo, coba dulu saudara.”
Akhirnya Bajan pun menuruti kemauan dokter. Bajan menangis sejadi-jadinya, mukanya merah, pikirannya berkecamuk serasa ingin mati menghadapi kenyataan. Setelah menunggu beberapa menit Bajan pun membuka mulutnya dan membaca namanya.
“ASU!”
Bajan pun menunduk lemas dan terus menangis sekencang-kencangnya.
MAAF... ini sengaja judulnya dibikin 'sangar' biar 'nggetih' kata Pak Aprinus,
hehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar